Minggu, 10 Mei 2009

JAKARTA- Limbah komputer yang berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan masih belum ditangani secara khusus di Indonesia. Pengolahan sampah biasa padahal tak mempan bagi zat-zat beracun di dalamnya.
Merkuri, timbel, kadmium, sejumlah bahan beracun lain, dan plastik yang tak bisa terurai di tanah merupakan bahan yang terkandung dalam komponen komputer. Bukan hanya komputer, semua peranti elektronik yang mengisi keseharian kita mengandung bahan beracun berbahaya (B3). Penanganan khusus bagi komponen ini sangat dibutuhkan.
Limbah benda elektronik tersebut tak akan dapat diurai dengan mudah menggunakan sistem pengolahan limbah biasa atau insinerator sekalipun. B3 seperti timbel dan merkuri mampu mengontaminasi air dan udara sehingga mengganggu kesehatan manusia dan ekosistem lingkungan.
“Setahu saya sampai saat ini belum ada yang memikirkan masalah limbah elektronik ini. Kita padahal butuh penanganan menyeluruh dan khusus. Bayangkan, tambah ke depan konsumsi produk elektronik kita makin tinggi. Untuk televisi saja kini hanya dapat bertahan lima tahun. Komputer bisa jadi hanya dua tahun mengingat pesatnya kemajuan teknologi, belum lagi telepon seluler ponsel,” ungkap Richard Mengko, Staf Ahli Bidang Teknologi Informasi Kementrian Negara Riset dan Teknologi (KNRT) kepada SH di Jakarta, Selasa (10/10).
Menurut Richard, institusi yang harus mulai memikirkan problem ini adalah Departemen Perindustrian dan Perdagangan (Deperindag) sebagai pihak yang paling kompeten di bidang industri produk elektronik. Sementara itu, pihak KNRT akan mencari solusi teknologi pengolahan limbahnya. Teknologi itu sendiri bisa diadopsi dari negara lain yang sudah lebih dulu memiliki sistem pengolahan limbah komputer.

Berbeda
Yang pasti limbah komputer tidak dapat disamakan dengan limbah biasa. Satu unit komputer terdiri dari komponen majemuk yang terdiri dari beragam kombinasi zat kimia. Semua substansi ini tergabung dalam komponen elektronik yang sulit diuraikan oleh mesin pelebursampah semacam insinerator. Komponen tersebut bahkan kian berbahaya jika secara sengaja atau tidak masuk ke dalam insinerator.
Misalnya saja bahan tembaga, sejenis katalis untuk pembentukan dioksin dapat memicu polusi jika diinsinerasi yang notabene melalui proses pembakaran. Bahan lain seperti brom jika dipanaskan dalam insinerator yang bersuhu 600-800 derajad Celcius akan menghasilkan bahan beracun polybrominated dioxins (PBDDs) dan furans (PBDFs).
Logam berat jika dimasukan ke insinerator akan menghasilkan lebih dari 90 persen bahan kadmium dan 70 persen merkuri yang berbahaya bagi kesehatan. Di negara maju seperti Amerika Serikat (AS) dan Kanada, dioksin yang berasal dari proses insinerasi limbah komputer dianggap sebagai sumber utama polusi udara yang merusak atmosfer.
Agak sulit mendapatkan data pasti jumlah komputer bekas yang diekspor dari AS ke negara seperti Taiwan dan China. Ini disebabkan adanya publikasi bahwa produsen selalu mendaur ulang limbahnya.
Pengolahan
Tidak semua komputer bekas didaur ulang, bahkan sebagian besar dijual ke negara berkembang termasuk Indonesia. Tentu saja ekspor ini sangat menguntungkan produsen sebab mereka tidak perlu membayar upah pekerja untuk mendaur ulang.
Sebuah program percobaan membuktikan, mengimpor limbah monitor komputer dari San Jose, California, ke China lebih murah 10 kali lipat ketimbang harus menjalankan proses daur ulang.
Namun, China juga tidak kalah pintar. “Di Hong Kong ada perusahaan yang bisa kaya berkat bisnis pengolahan limbah barang elektronik,” kata Richard. Pengolahan ini dilakukan secara manual, mengurai komponen elektronik satu demi satu. Ada bahan berharga seperti emas dan perak yang cukup lumayan didapat dari penguraian tersebut.
“Memang tidak seberapa jumlahnya, tapi kalau dari 5.000 unit komputer saja cukup lumayan,” demikian Richard.
Akankah Indonesia meniru China dalam mengolah limbah komputernya? Yang jelas perlu penanganan khusus yang disetujui oleh berbagai pemangku kepentingan, mulai dari industri, pemerintah dan masyarakat sendiri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar